Sebetulnya saya bingung menjawab
kalau ditanyai soal prestasi atau pencapaian yang sudah diraih dalam hidup.
Karena menurut saya pencapaian setiap orang itu bisa berubah-ubah seiring
berjalannya waktu. Ditambah lagi sifat manusia yang selalu tidak pernah puas.
Pencapaian menjadi sesuatu yang relatif. Dengan berjalannya waktu, bertambahnya
usia, berubahnya taraf hidup seseorang, pencapaian kadang-kadang menjadi hal
sifatnya kondisional. Mungkin kita sering menjumpai, atau bahkan mengalami
sendiri, merasa tidak puas dengan sesuatu yang kita dapatkan padahal sebelumnya
kita sangat menginginkannya. Pernah kan? Saya rasa hampir semua orang pasti
pernah mengalami.
1. Bisa menyelesaikan studi S2
dengan baik
2. Pergi ke event internasional
di luar negeri
3. Menjadi seorang ibu
Menurut saya, rasa tidak pernah
puas sebenarnya adalah hal yang lumrah dan manusiawi dimiliki oleh setiap
orang, sebagai makhluk yang berakal. Sifat ini bisa menjadi kelemahan sekaligus
kekuatan bagi seseorang di dalam hidupnya. Kalau tidak dikendalikan dengan
baik, perasaan tidak pernah puas bisa menyebabkan seseorang menjadi sangat
terobsesi dengan sesuatu, ambisius dan serakah. Ujung-ujungnya menjadi seseorang
yang self-oriented, menghalalkan segala cara agar tujuan atau keinginannya
tercapai dan memuaskan diri sendiri. Sifat seperti ini jelas tidak baik dan
merugikan diri sendiri bahkan orang lain.
Di sisi lain, sifat tidak puas
juga bisa membuat seseorang menjadi visioner dan terpacu untuk berprestasi.
Orang yang seperti ini, menjadikan pencapaian yang sudah diraihnya sebagai batu
loncatan untuk meraih prestasi yang lebih tinggi, lebih gemilang dan lebih
memuaskan minimal bagi dirinya sendiri. Sifat seperti ini yang menurut saya
keren dan perlu ditiru. Sebab, dengan ketidak puasan atas pencapaiannya itu
seseorang menjadi lebih giat berusaha, giat berdoa, demi mendapatkan apa yang
diinginkan
Tentu saja standar kata
‘berprestasi’ dan ‘pencapaian’ masing-masing orang berbeda. Karena itu,
prestasi dan pencapaian yang diraih seseorang bisa jadi adalah hal yang
dianggap biasa saja bagi orang lain. Meski demikian, kita tidak boleh memandang
sebelah mata atau meremehkan pencapaian orang lain. Selain itu, kita seharusnya
bersyukur atas setiap pencapaian yang berhasil kita raih. Pencapaian atau
prestasi tersebut seharusnya menjadi penyemangat bagi kita untuk menjadi
pribadi yang lebih baik lagi, sehingga kita tidak akan bermalas-malasan dan
pasrah menerima keadaan tanpa sedikit pun berusaha. Pencapaian yang tidak
disyukuri bisa menjadikan diri kita sombong dan tinggi hati. Inilah penyakit
yang harus kita waspadai dan hindari.
Secara pribadi, saya bersyukur
sekali Allah telah memberi kesempatan dalam 27 tahun hidup saya untuk belajar,
berproses dan beribadah. Saya tidak akan berhenti menjalani rangkaian proses
tersebut sampai kelak tiba ketetapan Allah atas waktu saya di dunia ini—semoga
waktu itu masih panjang sehingga saya bisa menyiapkan segalanya dan menjadi
pribadi yang terbaik sebelum akhirnya kembali pada-Nya, aamiin. Tetapi, jika
dirunut kembali setidaknya ada tiga pencapaian dan prestasi besar, menurut
saya, yang paling saya syukuri dalam hidup saya selama ini.
Saya bukan orang yang cerdas
atau jenius seperti B.J. Habibie, tapi saya juga tidak merasa sebodoh itu.
Impian saya sejak kecil adalah bisa sekolah sampai tingkat tertinggi dengan
beasiswa. Meskipun saya tidak terlahir dengan sendok emas di mulut saya, orang
tua saya adalah orang yang biasa saja, tetapi cita-cita dan tekad saya kuat
bahwa saya harus bisa kuliah. Padahal, secara logika keluarga saya pasti tidak
akan mampu membiayai kuliah, tetapi Allah masih mengizinkan saya merasakan
sensasinya menjadi mahasiswa. Dengan cara yang tak disangka-sangka. Untungnya,
orang tua saya bukan orang yang kolot, yang menganggap bahwa uang dan karir
adalah segalanya. Mereka sangat mendukung keputusan dan cita-cita saya. Bahkan,
mereka sangat bangga ketika saya diterima di salah satu perguruan tinggi
terbaik di Indonesia beberapa tahun yang lalu. Ketika saya memutuskan untuk
kuliah pascasarjana pun, orang tua saya tetap mendukung dengan maksimal dan
tidak komplain. Saya masih ingat betul, bagaimana ibu saya berhambur memeluk
saya ketika saya diwisuda menjadi sarjana. Bagaimana orang tua saya menciumi
pipis saya dan menangis haru di pundak saya ketika melihat putrinya memakai
toga dan membawa ijzah sarjana. Bagaimana orang tua saya merangkul dan
berbisik, 'Ibu bapak bangga padamu'. Bagaimana ibu dan bapak saya lagi-lagi
tersenyum puas ketika saya menenteng ijazah magister dan sertifikat cumlaude.
Bagaimana suami saya bangga melihat istrinya menjadi master of science.
Bagaimana mereka begitu bahagianya berfoto bersama di depan fotografer. Semua
perasaan indah itu adalah hal terbaik yang pernah saya raih dalam hidup saya:
membuat orang tua dan orang terkasih bangga.
Sejak menjadi mahasiswa, saya
menganggap kalau seminar internasional atau riset ke luar negeri adalah hal
yang keren. Karena itulah sejak kuliah saya sudah mantap bahwa saya harus bisa
ke luar negeri sebagai perwakilan kampus. Alhamdulillah, sejak menjadi
mahasiswa sarjana tingkat akhir impian-impian saya sedikit demi sedikit
terwujud. Dimulai dari seminar internasional di negara sendiri. Kemudian
seminar di negara lain. Dan puncaknya adalah saya bisa melakukan joint research
dengan salah satu kampus teknologi terbaik di Malaysia *ssst, bonusnya bisa
sekalian jalan-jalan ke Singapura. Rasanya deg-degan dan luar biasa sekali
ketika saya berdiri di depan forum ilmuwan lintas negara untuk mempresentasikan
hasil riset tim kami. Nerveous, challenging, tapi juga excited dan puas sekali.
Bagaimana saya bisa bertemu orang dari berbagai negara, menjalin pertemanan dan
ngobrol ini-itu dengan teman-teman dari belahan dunia yang berbeda.
Pengalaman-pengalaman berharga yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup
saya.
Lulus dari kehidupan pasca kampus, saya dihadapkan dengan suatu kenyataan yang 180⁰ sangat berbeda dengan kehidupan perkualiahan. Pernikahan dan rumah tangga. Saya rasa menikah dan menjadi ibu adalah impian setiap perempuan di dunia. Tahun 2018 yang lalu saya menikahi seorang laki-laki pilihan saya sendiri, yang begitu menyayangi dan memperjuangkan saya samlai akhir. Satu impian dalam perjalanan kisah asmara saya pun terpenuhi. Sayangnya, di tahun 2019 saya mengalami patah hati yang luar biasa. Kami kehilangan calon anak pertama kami. Keguguran. Seumur hidup saya belum pernah mengalami patah hati yang begitu menyakitkan dan menyesakkan seperti itu. Sedih, kecewa dan penyesalan yang mendalam. Tetapi orang-orang di sekitar saya, suami, keluarga, sahabat, tidak pernah berhenti memberi dukungan dan aura positif. Alhamdulillah, di tahun 2020 Allah kembali mempercayai kami untuk mempunyai keturunan dan merawat anak kami. Saya resmi menjadi ibu setelah berjuang mati-matian melahirkan anak kedua kami, dengan segala suka-duka, peluh dan air mata, serta kisah-kisah dramatis yang mengiringi prosesnya. Saya bersyukur sekali bahwa Allah kembali memberi saya kesempatan untuk merasakan impian yang saya inginkan.
Post a Comment
Post a Comment