Pengalaman ini mungkin menjadi salah satu momen paling mengejutkan dalam hidup saya. Shock, kaget, sedikit panik dan denial. Tanggal 7 Juli 2021 saya mau tidak mau harus menjalani isolasi mandiri hingga minimal sepuluh hari atau bahkan lebih. Saya tidak menyangka kalau akan menjadi calon alumni covid-19 gelombang kedua tahun ini. Semoga tidak terulang lagi di tahun-tahun yang akan datang. Atau bahkan di hari-hari, minggu-minggu dan bulan-bulan berikutnya.
Rasanya tidak salah kalau saya katakan saat ini Indonesia memasuki fase gelombang kedua pandemi global Covid-19. Sebab, beberapa waktu lalu, kira-kira sebelum lebaran idul fitri, angka kasus Covid-19 sempat turun dan melandai. Tetapi pasca lebaran, persisnya kapan saya lupa, jumlah pasien positif tiba-tiba melonjak drastis. Dan, saya tidak menyangka bahwa saya akan termasuk dalam daftar itu meski tidak terlaporkan secara resmi. Kenapa saya katakan demikian? Nanti akan saya jawab. Yang jelas, sekarang rasanya virus ini semakin cepat menular. Tahun lalu rasanya masih jauh dari kami. Tapi tahun ini seperti sudah dekat sekali. Sudah mulai menyusup ke circle kami, bahkan yang terdekat, yaitu keluarga.
First of all, saya ingin menceritakan dulu bagaimana kronologinya saya terindikasi positif Covid-19. Sore itu, tanggal 7 Juli 2021, setelah memandikan si kecil saya tiba-tiba mengalami anosmia. Sebetulnya sehari sebelumnya saya sudah merasa ada yang salah dengan indra penciuman, karena saya merasa tidak bisa mencium bau minyak telon si kecil. Tetapi saya masih tidak yakin dan karena buru-buru mengerjakan kesibukan yang lain jadi saya tidak ambil pusing. Nah, tanggal 7 Juli itu saya benar-benar meyakinkan diri bahwa saya mengalami anosmia.
"Yah, kok bunda gak bisa nyium bau minyak telonnya adek ya?!" kata saya ke suami waktu itu.
"Yang bener? Jangan mengada-ada, Bun!" suami ikut kaget dan masih tidak percaya.
"Iya, serius. Tuh kan... Gak bau sama sekali." Saya masih berusaha memastikan kondisi dengan mencium botol-botol yang lain. Minyak kayu putih, minyak rambut bayi, baby oil, lotion bayi sampai minyak tawon saya siram ke tangan pun tetap tidak bisa tercium baunya. Meskipun sudah saya oleskan banyak-banyak ke hidung, tetap nihil. Tidak ada bau sama sekali.
Deg! Fix ini anosmia. Saya dan suami lemas seketika. Benar-benar shock. Apa iya saya positif? Apa cuma perasaan saja? Kok bisa? Karena masih ragu, saya langsung berlari ke kamar mandi, mencoba mencium bau-bau yang lain yang bisa saya temukan. Mulai dari sabun mandi, sabun cuci sampai karbol. Tapi tidak ada satu aroma pun yang berhasil menyusup lubang hidung saya. Walaupun panik sebenarnya, saya dan suami berusaha menenangkan diri. Saya bergegas memakai masker medis yang didobel lagi dengan masker kain. Dan cepat-cepat jaga jarak dari suami dan anak, walaupun mungkin terlambat karena bisa jadi sebetulnya saya sudah terpapar sejak beberapa hari yang lalu.
Saya bilang ke suami, "Yah, jangan panik ya! Kalau ayah panik, bunda juga ikut panik." Meskipun hati dan pikiran sudah tidak karu-karuan. Jantung dag dig dug kencang. Terkejut, takut dan khawatir.
"Ayah nggak panik, Bun. Tapi masih shock... "
Kami saling diam sambil memperhatikan si kecil yang asyik main sendiri, yang sempat terlantar sejenak karena kejutan mendadak yang menyita perhatian kami sepenuhnya.
"... Toh Bunda nggak ada gejala aneh-aneh kan. Cuma anosmia," suami berusaha tetap tenang dan meyakinkan kami bahwa saya baik-baik saja, meskipun saya yakin dia pun pasti kalang kabut pikirannya.
Perasaan kaget dan terkejut itu ternyata tidak mudah hilang begitu saja. Karena tidak ingin berlarut-larut, yang saya yakini justru hanya akan memperkeruh suasana dan bikin stres, saya berusaha mengalihkan pikiran dengan kegiatan lain. Bersih-bersih rumah, menyapu sampai mengepel lantai. Sementara suami mengambil alih penuh tugas momong si kecil sambil menelpon saudara ipar yang kebetulan seorang nakes di salah satu rumah sakit di Jawa Timur. Saya dengar obrolan mereka dari jauh dengan jelas. Tentu saja topiknya tentang kejutan yang baru saja kami alami. Saudara ipar juga menanyakan kondisi saya dan gejala apa saja yang saya alami.
Sedikit cerita, beberapa waktu sebelumnya saudara ipar juga sempat dirawat di rumah sakit setelah dikonfirmasi positif pasca kontak erat dengan pasien Covid-19 di tempat kerja. Jadi beliau punya jejak yang pasti, jelas sebabnya, dari mana beliau tertular, dari siapa dan kapan. Nah, dalam kasus saya berbeda. Saya bukan pekerja, hanya ibu rumah tangga yang setiap hari di rumah mengasuh anak, suami dan mengurus rumah. Hampir tidak pernah keluar kalau tidak benar-benar butuh. Sekalipun keluar selalu berusaha taat prokes, pakai masker, jaga jarak dan lain sebagainya. Suami pun tidak jauh berbeda. Aktivitas rutin yang dilakukan di luar hanya ke tempat kerja. Ketemu orang yang itu-itu saja. Selesai kerja langsung pulang ke rumah. Bahkan sejak awal pandemi tahun lalu suami dengan terpaksa libur salat jamaah di mushola atau masjid dekat rumah. Hanya berjamaah dengan saya. Bayi kami apalagi. Tidak pernah diajak bermain di luar, malah seperti dikurung dalam kandang. Tidak pernah digendong atau interaksi dengan orang lain secara langsung. Karena itu ketika saya tiba-tiba anosmia, kami sempat bingung merunut dari mana saya tertular, kapan persisnya terpapar dan sudah berapa lama. Kami hidup bertiga saja di rumah yang sederhana di Surabaya ini. Lingkungan kami memang perkampungan padat dengan berbagai karakter dan isi kepala banyak orang. Tetapi bisa dibilang kami jarang sekali tampil atau ikut-ikutan kumpul warga. Lebih-lebih sejak pandemi seperti sekarang.
Daripada pusing memikirkan dari mana dan bagaimana saya terpapar, saya pikir lebih baik fokus isolasi mandiri dan menjaga diri serta keluarga. Bagaimana dengan tes swab? Sejujurnya memang tidak saya lakukan, walaupun sempat terpikir untuk swab antigen di klinik kesehatan terdekat. Tetapi saudara ipar sudah sangat yakin saya positif Covid-19 dan menyarankan untuk fokus isolasi mandiri meskipun hampir tidak bergejala atau gejala ringan. Karena itulah saya katakan kalau saya mungkin termasuk kasus positif yang tidak terlaporkan secara resmi karena tidak punya data valid berupa hasil tes laboratorium, antigen maupun PCR. Lagipula, biaya tes swab antigen, apalagi PCR, juga tidak murah. Daripada dipakai tes lebih baik saya alihkan untuk suplemen dan vitamin yang saat itu lebih saya butuhkan. Jangan ditiru ya, yeorobun! Lebih baik tes jika memang dirasa ada yang tidak beres dengan kondisi tubuh diri sendiri, supaya lebih jelas dan pasti penyakitnya, sehingga bisa ditangani dan diobati secara tepat dan cepat.
Setelah saya ingat-ingat lagi, ternyata saya pernah mengalami gejala lain sekitar seminggu sebelumnya. Kalau tidak salah, hari Minggu tanggal 27 Juni saya merasa ada yang tidak biasa. Sejak siang hari badan rasanya meriang dan puncaknya ketika tengah malam tubuh saya demam tinggi sampai 39.4 °C. Tidak bisa tidur nyenyak dan sakit kepala. Waktu itu saya pikir hanya demam biasa dan besok pasti sudah sembuh lagi kalau saya minum paracetamol dan multivitamin. Dan, qodarullah kok ya ndilalah keesokan harinya ketika bangun tidur kepala sudah tidak pusing, tidak meriang, sudah tidak demam dan suhu tubuh kembali normal 36.1 °C. Saya pun tetap beraktivitas seperti biasa.
Hari Senin tanggal 28 Juni, ternyata gantian si kecil yang sumeng. Malamnya masih tetap sumeng meski tidak demam tinggi. Saya pun inisiatif memberi paracetamol bayi dengan harapan demamnya tidak memburuk dan paginya bisa kembali suhu normal. Selama satu hari itu suhu tubuh si kecil naik turun antara 35.7 sampai 37.7 °C. Meskipun keesokan paginya, hari Selasa, suhunya kembali normal, saya tetap merasa khawatir. Jadi pagi itu kami membawa si kecil ke dokter. Pulang dari dokter dengan sekantong obat dan vitamin, si kecil tetap baik-baik saja, bisa beraktivitas seperti biasa, tetap aktif. Yang berbeda cuma nafsu makannya yang menurun drastis. Hampir tidak mau makan sama sekali, hanya satu sampai dua suapan. Beruntung dia tetap mau menyusu bahkan lebih banyak daripada biasanya. Frekuensi menyusunya jadi lebih sering. Selama berhari-hari, hampir satu minggu lamanya, si kecil tidak mau makan. Hanya mau minum air putih dan susu. Segala macam resep masakan saya coba, tapi hasilnya nihil. Galau kan? Jelas! Apalagi berat badannya sampai anjlok satu kilo. Sudah diberi suplemen untuk meningkatkan nafsu makan pun nggak ngefek, yeorobun. Selain nafsu makan yang berantakan, keanehan lain yang dialami si kecil adalah suhu tubuhnya yang tidak stabil. Ketika siang hari suhunya normal, tetapi ketika malam hari badannya sumeng. Tidak sampai demam tinggi. Lalu kembali normal lagi ketika bangun pagi. Karena saya pikir hal ini wajar, dan ditambah lagi pendapat ibu saya yang juga meyakini kalau hal ini lumrah pada anak kecil, saya pun tidak berpikir lebih jauh.
Dua hari setelah si kecil ke dokter, masih dalam masa perawatan, suami ikut-ikutan meriang. Badannya demam semalaman. Setelah minum paracetamol, suami kembali normal keesokan harinya dan pergi bekerja seperti biasa. Kira-kira begitulah, pasca demam singkat secara beruntun dan sembuh kami tetap beraktivitas seperti biasa dan tidak ada gejala aneh-aneh yang dirasakan. Tidak ada pikiran macam-macam apalagi sampai mengarah ke positif Covid-19.
Baru seminggu kemudian muncul gejala anosmia yang saya alami. Kalau dicermati lagi, mungkin sebetulnya saya sudah terpapar ketika pertama kali meriang dan demam beberapa hari sebelumnya. Kemudian anak dan suami tertular oleh saya dan ikut-ikutan demam. Bedanya, mereka mungkin dalam kondisi fit dan imun yang baik sehingga tidak menunjukkan gejala dan hanya saya yang anosmia. Atau mungkin si kecil yang lebih dulu mengalami anosmia dan ageusia (kehilangan kemampuan inda perasa) ketika nafsu makannya menurun selama beberapa hari itu, cuma tidak bisa mengeluh dan cerita karena belum bisa bicara. Wallahu a'lam, tidak ada yang tahu pasti.
Yang jelas, sejak saat itu saya selalu memakai masker ganda di rumah 24 jam penuh. Tidak dilepas kecuali ketika makan, mandi dan wudhu. Menjaga jarak dengan anak dan suami. Lalu fokus mengkarantina diri sendiri. Mengenai apa saja yang saya rasakan dan saya lakukan selama isolasi mandiri, insyaAllah akan saya tulis pada postingan yang lain. Dari pengalaman ini, saya ingin berbagi pelajaran:
1. Jangan remehkan gejala demam atau meriang, atau bahkan gejala sekecil apapun yang tiba-tiba muncul pada diri sendiri maupun keluarga. Banyak kasus positif yang hanya menunjukkan gejala ringan bahkan tanpa gejala.
2. Jika dirasa ada yang tidak biasa atau tidak beres pada tubuh, segera periksakan diri ke dokter atau fasilitas kesehatan agar bisa diketahui pasti penyebabnya dan mendapatkan penanganan yang tepat. Dengan situasi seperti sekarang, menebak-nebak saja tidak jarang justru bikin galau, apalagi tanpa pengarahan tenaga ahli bisa jadi malah memperburuk keadaan.
3. Perketat lagi prokes! Prokes! Prokes! Kami yang sudah berusaha taat prokes semaksimal mungkin saja masih bisa terpapar. Apalagi yang abai dan tidak prokes sama sekali.
4. Vaksin! Kalau ada kesempatan vaksin jangan dilewatkan. Terus terang saya sedikit menyesal karena belum vaksin. Sehari sebelum sadar kalau anosmia sebetulnya saya sudah mendaftar untuk vaksin via Halodoc. Tetapi keadaan berubah tiba-tiba dan memaksa saya untuk menunda vaksin.
Akhir-akhir ini memang banyak sekali berita duka dan tidak menyenangkan lainnya yang sering kali membuat kita sedih. Kabar-kabar buruk yang tidak bisa kita kontrol seperti datang bertubi-tubi. Belum lama ini tidak hanya saudara ipar yang harus dirawat karena positif Covid-19. Sepupu kami yang di Malang juga harus diisolasi karena terpapar. Kerabat yang lain juga mengalami hal serupa. Teman-teman kami juga tidak sedikit yang mengabarkan sedang isolasi mandiri, dirawat di rumah sakit, bahkan ada pula yang masih kesulitan mendapat kamar perawatan ICU maupun IGD. Di antara kabar-kabar tersebut ada pula yang harus gugur karena melawan Covid-19. Semoga kita semua selalu dilindugi oleh Allah. Yang sakit semoga lekas sembuh dan pulih. Yang positif semoga segera negatif. Yang sehat semoga tidak sampai sakit. Kesehatan itu benar-benar nikmat dan karunia Tuhan yang sangat besar dan patut disyukuri namun sering kali kita lupakan.
Post a Comment
Post a Comment