Photo: mrsunshinenetflix via Instagram |
Masih terlalu awal bila disebut senja petang, tetapi aku bisa merasakan gemeresik lembut angin sore yang seolah berbisik padaku untuk pergi ke tempat itu. Angin seakan-akan menuntun dan membuka jalanku, menyingkirkan setiap helai dedaunan yang jatuh di musim gugur, hingga akhirnya membawa serta langkahku ke sebuah bangunan megah bergaya Eropa tak jauh dari jalur trem yang dibangun Jepang sekitar tiga tahun lalu, tepatnya pertengahan 1889.
Aku berani bertaruh, bangunan itu adalah satu-satunya hotel modern di seantero Joseon yang sedang tidak stabil ini. Glory Hotel. Pemiliknya adalah seorang wanita cantik dan kaya berkebangsaan Jepang, meski sejatinya ia berdarah Joseon.
Wanita itu, Kudo Hina, mewarisi kekayaan yang melimpah dari mendiang suami Jepang-nya yang meninggal tak lama setelah mereka menikah. Hina lalu menyewaku dan anak buahku untuk menjaga tempat itu. Aku menganggap hotel itu seperti rumah kedua setelah sasana judo-ku di Jinggogae.
Dari kejauhan aku bisa melihat Glory Hotel begitu kontras dengan lingkungannya. Halaman yang lapang, tiang-tiang kokoh berwarna putih di berbagai penjuru beranda, serta pintu yang megah.
Di pintu itu orang-orang berlalu-lalang, pejabat kerajaan, para bangsawan dan pelayan mereka, tukang becak, bahkan warga negara asing dari Rusia, Inggris, Jerman, Perancis, Belanda sampai tentara Amerika.
Kebanyakan orang asing menginap dan tinggal di sana. Mereka yang bukan orang asing datang untuk sekadar minum kopi, main biliar yang mulai banyak digemari, atau minum arak dan bermain judi. Budaya-budaya modern yang jelas dijauhi oleh kaum bangsawan aristokrat yang cenderung kolot dan lambat menerima budaya barat.
Karena itu aku heran, lebih tepatnya terkejut, ketika mendapati sebuah tandu mewah berhenti di halaman hotel. Aku kenal pemilik tandu itu. Apa yang ia lakukan di sini? Untuk apa ia kemari
****
Aku memegangi pedang yang tersarung di pinggangku. Di depan tandu yang mewah berhias ukiran bunga warna merah dan emas, aku berdiri menghadap padanya dengan perasaan kagum, rindu, sekaligus iba.
Perempuan itu terlihat anggun seperti biasanya. Hari ini ia dalam balutan hanbok warna hijau muda dengan pita daenggi merah terikat pada rambut panjangnya yang hitam berkilau terkena sinar matahari sore. Sebuah ornamen bebatuan hijau zamrud dengan tali anyaman warna ungu menjuntai dari pinggangnya sampai kira-kira setengah kaki. Benar-benar ciri khas seorang wanita keturunan bangsawan.
Aku tidak melihat senyum di wajahnya hari ini. Raut mukanya datar, tanpa ekspresi. Namun ia tetap terlihat cantik dan terhormat. Bibirnya terkatup rapat. Tatapannya tajam. Jarak kami berhadapan terpisah hanya sejauh dua kaki.
“Dunia telah berubah, Nona. Setiap bangsawan di Joseon takut kepadaku. Namun bagi Nona, pastilah aku masih... seorang jagal hina,” suaraku tercekat menyebut kata ‘jagal’ yang dulu melekat erat dengan mendiang kedua orang tuaku.
“Kau salah. Bagiku kau bukan jagal. Kau manusia. Jadi biar kujelaskan. Entah tatapan apa yang kuberikan kepadamu, tapi tatapan ini kuberikan bukan karena kau jagal. Melainkan karena kau pengkhianat.”
Perempuan itu tidak sedang memaki-maki diriku. Ia juga tidak membentak-bentak padaku. Tetapi aku bisa merasakan, ia meludahiku melalui tatapannya.
Aku terdiam.
Sudah belasan tahun aku hidup sebagai yakuza yang ditakuti banyak orang. Pedang samurai tidak pernah lepas dari genggamanku. Alih-alih harimau atau serigala, aku lebih suka memenggal kepala manusia.
Selama ini aku menganggap hidupku lebih terhormat daripada jagal yang bahkan harus berlutut di hadapan budak. Tetapi hari ini aku merasa lebih rendah dan hina daripada jagal.
Ia menyebutku pengkhianat.
Perempuan itu menaiki tandunya kemudian beranjak dari hadapanku. Aku yang masih diam terpaku, hanya bisa memandanginya, tak sanggup bergerak. Kakiku seolah tertancap ke dasar bumi, seperti kata-katanya yang begitu tajam menusuk hati.
Hingga tandu itu hilang dari pandangan, aku baru kuasa mengangkat kakiku lagi dan melangkah memasuki hotel.
****
Percakapan dengan Nona Go Ae Shin yang baru saja kualami, membuatku kembali teringat peristiwa bertahun-tahun silam, sebelum lari ke Jepang.
Aku pernah menumpang di tandunya. Saat itu keluargaku diburu oleh penduduk desa setelah ibu menikam laki-laki yang melecehkannya hingga tewas, menggunakan pisau yang biasa ia pakai untuk memotong daging.
Aku berhasil lolos dan bersembunyi, tetapi ayah dan ibuku tertangkap. Di balik persembunyian, aku menyaksikan kedua orang tuaku dihakimi hingga tewas.
“Nona, sepertinya ada sepasang pria-wanita jagal yang dihukum. Kata warga sekitar, mereka telah membunuh seseorang. Dan anak mereka berhasil kabur,” ujar seorang pelayan.
“Tetapi anak itu tidak tega meninggalkan orang tuanya,” sahut Nona Go Ae Shin kecil dari dalam tandu ketika ia memergokiku tengah mengendap-endap bersembunyi. Mata kami bersitatap.
Ia lalu menolongku dan membujukku untuk bersembunyi di tandunya. Tandu itu sangat lengang untuk dua anak kecil seperti kami. Aku diam menatap sepasang mata yang memandangku dengan iba.
Tetapi aku sudah terlanjur muak dengan Joseon. Segala tentang Joseon, yang telah memperlakukan kami, kaum jagal, seperti layaknya binatang.
Sebagai pelampiasan, aku lantas menusuk Nona Go Ae Shin kecil dengan kata-kataku yang paling menyakitkan. Kau hanyalah bangsawan yang bodoh dan lemah.
Sejak saat itu, setiap hariku di Jepang selalu memikirkannya. Hingga saat ini, wajahnya yang rupawan bahkan ketika marah, selalu bersemayam di ingatanku. Aku dihantui rasa bersalah sekaligus rindu ingin berjumpa.
“Kau jatuh cinta, Dong Mae-ah. Pada wanita bangsawan itu.” Hina, yang rupanya sedari tadi memperhatikanku sambil bersangga dagu di meja tamu, menyambutku dengan kata-kata yang membuat darahku berdesir. Jatuh cinta, katanya.
Aku tidak menyahut. Tanpa dipersilakan, aku segera menuju sofa beludru empuk di salah satu sudut lobi hotel dan duduk dengan pikiran masih melayang ke masa lalu. Hina membuyarkan lamunanku ketika datang dengan sebotol arak dan cawan.
“Kenapa kau berpikir seperti itu?” tanyaku setelah menghabiskan arak yang diulurkan Hina padaku dalam sekali teguk.
“Aah, sayang sekali kau tak tahu. Haruskah aku mencabut pedangmu dan membelah isi dadamu agar kau menyadarinya?” Hina mencibir. Aku masih bergeming.
“Kau berdiri mematung untuk waktu yang lama sambil memandangi tandu nona itu pergi. Kau tidak beranjak sedikit pun. Apalagi yang menahan seorang Goo Dong Mae dalam waktu selama itu, jika bukan perasaan yang mendalam?” kali ini Hina menatapku lekat-lekat.
Aku memandangi cawan yang telah kosong di tanganku sambil memikirkan kata-kata Hina. Jatuh cinta tidak cocok untuk orang sepertiku, Hina-ah.
“Haha. Rupanya kau memang tahu segalanya, Hina-ah,” aku berkelakar alih-alih menanggapi pertanyaan Hina.
“Aku anggap itu pujian,” Hina mengedipkan sebelah matanya dengan centil, lalu menuangkan arak ke dalam cawanku lagi. Aku kembali menenggaknya dalam sekali teguk.
“Nona-mu itu sejak kecil sudah dijodohkan dengan cucu semata wayang keluarga bangsawan terkaya kedua di Joseon setelah Raja. Tunangannya sedang menuntut ilmu di Jepang sekarang. Mungkin akan segera pulang."
"Seorang kapten tentara marinir Amerika, yang berperawakan Asia dan wajahnya mirip dengan kita, sering memanggilnya ke legasi Amerika akhir-akhir ini. Aku menduga mereka saling tertarik satu sama lain. Mereka bertemu hari ini, di hotel ini."
"Kau tidak akan memiliki ruang di antara kisah cinta mereka, Dong Mae-ah. Para pesaingmu bukan orang sembarangan,” tutur Hina mencibirku lagi. Ia kini duduk santai di seberangku sambil melipat kedua tengannya.
Aku menyimak setiap penuturan Hina dengan tenang‒atau tepatnya berusaha terlihat tenang‒meski entah kenapa, rasanya aliran darahku mulai meletup-letup di kepala.
Mungkin inilah yang orang-orang sebut dengan cemburu. Tunggu. Cemburu? Ah, itu tidak mungkin.
“Kali ini aku benar-benar harus memuji kemampuanmu, Hina-ah! Kau sungguh mengetahui segalanya. Haha. Satu bangsawan dan satu lagi tentara, dua hal yang paling kubenci di dunia ini. Mudah saja, aku tinggal menebas leher mereka satu per satu dengan kedua pedangku,” sahutku sesumbar, berusaha menutupi rasa ingin marah yang menderaku.
Hina tidak membalas. Ia lantas berlalu begitu saja di depanku. Gaun ungu mewah bergaya Perancis yang dikenakannya berkelebat di wajahku.
Hina sejatinya adalah wanita yang anggun. Pakaian apapun terlihat cocok dikenakan olehnya, yukata Jepang ataupun gaun Perancis. Aku hanya tidak pernah melihatnya memakai hanbok.
Ia juga wanita cerdas yang menguasai berbagai macam bahasa asing. Di balik ketenangan dan keanggunannya, ia tegas dan pemberani. Sayang sekali ia harus menjadi janda di usia yang masih sangat muda.
Aku mengikuti Hina ke kamarnya. Ia duduk di depan meja rias dengan kaca besar yang memantulkan wajah cantiknya.
Sebuah pedang anggar dan pistol kecil tergeletak di atas meja pajangan di salah satu sudut kamar Hina. Sebagai seorang janda kaya, tentu banyak pihak yang ingin menguasai dirinya. Kurasa itulah alasan kedua benda itu ada di sana.
Hina berkaca sambil merapikan tatanan rambutnya yang digelung rapi dan cantik. Ia juga menyapukan riasan tipis di wajahnya.
Aku lalu meletakkan pedangku di sebuah meja bundar, kemudian menarik kursi kayu dan duduk di dekat Hina. Semerbak aroma bunga mawar seketika menyusup di hidungku. Mungkin dari wewangian Hina, pikirku.
“Perempuan itu menyebutku pengkhianat dengan sepenuh hatinya. Kata-katanya lembut tapi begitu tajam seperti pedang. Sorot matanya pun tak kalah tajam. Rasanya seperti aku ditikam tepat di jantungku... Bagaimana bisa perempuan itu menyebutku pengkhianat ketika seluruh pikiranku tertuju padanya setiap waktu?” aku mendengus dan mulai bercerita.
Hina masih bergelut dengan gelungan rambutnya, tetapi aku tahu ia mendengarkan.
“Dong Mae-ah, paman nona itu meninggal demi membela rakyat jelata pada kerusuhan melawan imperialis Amerika bertahun-tahun silam. Ayah dan ibunya tewas di Jepang dalam pemberontakan demi membela Joseon tidak lama setelah ia dilahirkan."
"Kakeknya merupakan guru dari Putera Mahkota yang kini telah menjadi Raja. Keluarganya telah banyak berjuang dan memikirkan nasib bangsa ini. Mereka adalah keluarga yang paling dihormati dan disegani."
"Tidakkah kau melihat bahwa ia menganggapmu pengkhianat karena kau lari meninggalkan bangsamu sendiri, ke Jepang, lalu datang kembali sebagai antek-antek mereka dengan menjadi yakuza?” Hina mencecarku.
Ia memandangiku dengan ekspresi serius yang sama sekali tidak bisa kupahami. Kata-kata Hina membuatku berpikir. Tetapi sekeras apapun memikirkannya, aku masih tak bisa mengerti.
Akhirnya aku menyerah dan kuputuskan bahwa perkataan Hina tak perlu kutimpali.
“Baiklah. Jika keluarga mereka berusaha melindungi Joseon dari tangan para bangsa penjajah, lalu apa yang ingin kau lindungi?"
"Pistol dan berlatih anggar pasti ada alasannya. Kau juga menyewa anak buahku dengan harga mahal untuk menjaga hotelmu. Apa yang berusaha kau lindungi?” aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Ada jeda sejenak di antara kami. Hina mematung. Matanya memandang jauh ke dalam bayang-bayang di dalam cermin.
“Semua yang telah direnggut dariku,” sahut Hina lirih. Suaranya terdengar lembut dan lemah.
Aku teringat, Hina pernah bercerita bahwa ia telah ‘dijual’ oleh ayahnya sendiri yang memaksa ia menikah dengan mendiang suami Jepang-nya hanya demi uang dan kekayaan.
“Apa saja yang telah direnggut darimu itu?” tanyaku lagi.
“Semuanya. Masa mudaku... Ibuku... Namaku...” Hina menatap kosong, seolah-olah menerawang ke masa lalu. Tetapi jawaban Hina membuatku semakin penasaran.
“Siapa namamu yang telah direnggut darimu itu?”
“Lee Yang Hwa...” ia menoleh padaku.
Suasana hening seketika. Kami saling berpandangan. Aku melihat mata Hina berkaca-kaca. Tiba-tiba aku terenyuh dan merasa bersalah telah bertanya.
“Lee Yang Hwa? Nama yang indah. Baiklah. Yang Hwa-ah, keluarlah. Aku memang tidak pandai urusan wanita, tapi aku bisa membelikanmu sebuah gaun yang secantik dirimu. Anggap saja bayaran atas minuman-minuman yang kau suguhkan setiap kali aku ke sini.”
“Hm, aku punya banyak. Hotelku telah memberiku banyak uang untuk membeli gaun apapun yang kuinginkan,” gerutunya kecewa. Ia pasti tahu aku mencoba menghiburnya. Ahh, aku memang tidak ahli dalam hal meminta maaf.
Ia memberi isyarat ke arah lemari kayu besar tak berpintu, tempat ia menggantung gaun-gaun cantik koleksinya.
Hina benar. Ia adalah wanita kaya dan mempunyai usaha hotel yang sukses. Tentu saja gaun-gaun mahal itu bukan apa-apa baginya. Malah sebetulnya ia bisa membeli benda apapun yang ia mau.
Kalau ada yang tidak dapat ia miliki, maka jelas itu bukanlah sesuatu yang bisa diukur dengan materi. Dan penilaianku memang benar...
“Dong Mae-ah, daripada gaun cantik, bisakah kau memberiku sesuatu yang lain?”
“Baiklah. Katakan saja, apa ‘sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang’ itu?”
“Hatimu.”
Aku terperanjat, setengah tidak percaya. Tak pernah terpikir olehku akan mendengar hal semacam itu dari mulut Hina. Lee Yang Hwa... memikirkanku. Selama ini ia menyukaiku.
****
Karya ini terinspirasi dari K-Drama Mr. Sunshine. Serial Mr. Sunshine terdiri dari 24 episode dan ditayangkan di stasiun televisi tvN pada tahun 2018. Serial ini juga ditayangkan secara internasional oleh Netflix. Ditulis oleh penulis Kim Eun Sook (penulis drama hits Descendant of the Sun dan Goblin) dengan director Lee Eung Bok.
Karya ini juga terpilih untuk dimuat dalam buku Sebatas Mimpi, buku antologi karya fanfiction dan mini fiksi Lomba Menulis Nasional tahun 2019 yang diselenggarakan oleh Memory Projects (dengan perubahan judul).
Baguuus mbak. Kalau latar ceritanya di masa akhir Joseon, berarti kemungkinan Dong Mae murid judo Jigoro Kano generasi pertama ya.
ReplyDeleteMungkin ya mas. Karena ini tokohnya fiktif, jadi anggep aja gitulah ya, wkwk. Judo pertama kali lahir tahun berapa sih?
DeletePanjang bener tulisannya.. tp lengkap bgt.. hehee.. bisa jadi naskah epos keren..
ReplyDeleteTerimakasih telah berbagi informasinya
Kepanjangan yak? Wkwk, maaf mas. Semoga nggak bosan yak 😂🙏🏻 Kalo lagi nulis hal yang aku suka emang sering bikin lupa diri. Tau2 udah panjang aja tulisannya..
Delete-Zillubis-
ReplyDeleteWah ceritanya menarik banget. Saya baca dari awal sampe akhir lho. Jadi pengen nonton langsung
Monggo monggo.. Silakan ditonton dramanya. Keren banget, drama terbaik yang pernah saya tonton lah. Spoilee dikit, di drama ceritanya nggak kayak di atas ya kak. Beda banget, hehe..
DeleteSebagai fans dari Kudo Hina selama nonton dramanya, saya sungguh berterima kasih atas fanfiksi ini. Soale jarang banget penulis fanfiksi Mr Sunshine pakai POV Kudo Hina huhuhu.
ReplyDeleteMana ceritanya bagus, kalaumau dibikin seri taruh aja di AO3 Kak.
Sebetulnya sampe sekarang aku tuh masih nggak trima endingnya kayak gitu. Terlalu pedih huhuhu 😭😭 Seharusnya Hina & Dong Mae bisa punya ending yang indah, iya nggak sih?
DeleteBtw, apakah itu AO3? Apakah semacam wattpad? Aku baru denger soalnya.. Hehe
Waah dulu ada salah satu temanku yang rekomendasiin untuk film ini karena katanya ceritanya menarik. Aku baca postingan ini sampe akhir dan bikin penasaran yaa rasanya. Boleh banget ku coba cari filmnya biar ditonton
ReplyDeleteCuss kudu nonton. Drama ini emang highly recommended. Di Netflix ada kok. Ini keren banget dramanya. Serius, nggak boong. Ceritanya epik, keren, sinematografinya, castnya, sampe OST nya juga bagus semua, gak ada yg jelek..
DeleteCeritanya keren banget waktu membaca seperti berada dalam bagian cerita
ReplyDeleteSyukurlah.. Semoga terhibur ya kak. Terima kasih sudah mampir ke sini, semoga sukses selalu :)
DeleteWow! Seru ya. Baca tulisan ini serasa nonton sendiri di depan tipi.
ReplyDeleteDi drama aslinya malah jauh lebih seru mbaak!! Duh aku sampe gagal move on..
DeleteTapi di drama aslinya beda banget dari cerita yang aku tulis di atas. Adegan di atas nggak ada di drama. Itu cuma karanganku sendiri 😂
Gaya bertuturnya enak dibaca dan mengalir. Terima kasih sharingnya, Kak ❤
ReplyDeleteAlhamdulillah, terimakasih kak sudah membaca dan mampir di sini. Semoga sukses selalu yaa ❤
DeleteKangen banget sama Mr Sunshine.
ReplyDeleteDan karakter perempuan yang kuat di drama adalah Kudo Hina.
Drama ini yang paling aku sukai adalah semua karakternya hidup dengan menghayati latar belakang sejarah pada zamannya. Semua pemeran utama dan pendukungnya..
Keren.
Bener banget mbak, valid, accurate, no debate! Dahlah ini drama terdebest sepanjang karir perdrakoranku... Bikin gagal move on. Keren. Indah banget pokoknya semua muaa muaanyaaa. Dah nggak ngerti lagi, pokoknya keren, mo pingsan 😂
DeleteWah ....udah agak lama ngga baca k-fanfiction di blog gini. Dulu pas aku masih SMP-SMA banyak banget penulis ff yang nge-blog sekarang mah sudah ngga pada aktif. Semangat terus kak! Ditunggu next ff-nya hehe...
ReplyDeleteJujurly, ini tuh pertama kalinya aku bikin fanfiction mbak. Dulu pas masih sekolah lumayan sering baca FF. Tapi nggak pernah nulis sendiri. Jadinya ini pertama kalinya bikin FF. Alasannya simpel, karena aku nggak terima dengan ending cerita aslinya di drama. Rasanya kayak terlalu kejam gitu buat para tokohnya.. Wkwk
DeleteAq sukaa bangedd latar ceritanya zaman dulu, berasa gtuww yaa aura bangsawannya. Lanjutin dong ceritanya
ReplyDeleteSalah satu yang bikin suka drama Sageuk (kolosal) itu sih mbak. Ciri khas kebangsawanannya nampak nyata. Hehe..
DeleteTapi kalo disuruh lanjutin cerita ini aku gak bisa menyanggupi. Aju pertimbangkan dulu ehhee. Makasih ya mbaak :)
Jadi cerita fiksi ini tuh, kakak'a Netflix'an dulu terus diubah ke dalam bentuk tulisan ya. Suka deh kalo ada cerita adaptasi seperti ini.
ReplyDeleteIyap! Jadi ini aku nonton dramanya sampe khatam, baru bikin cerita fanfiction ini.
DeleteTapi, drama aslinya beda banget dengan cerita yang aku tulis. Di drama aslinya Kudo Hina dan Gu Dong Mae meninggal. Dan si Hina baru jujur tentang perasaannya ke Dong Mae pas udah sakaratul maut, sedih banget kan..
Terus nggak lama kemudian di Dong Mae meninggal juga di tangan yakuza, dengan perasaan cinta yang masih untuk Go Ae Shin padahal Ae Shin cintanya je orang lain.
Intinya drama ini sedih banget endingnya. Semua tokoh utamanya meninggal, kecuali Ae Shin. Kejam kan? Nah aku gak terima tuh endingnya kayak gitu. Harusnya Dong Mae dan Hina bisa punya ending yang bahagia :" Makanya aku ngarang cerita pengembangan dari drama aslinya. Begitulah intinya, disebut fanfiction karena sebetulnya ini fiksi penggemar..
Gegara tulisan ini, kok saya malah jadi kepo sama film aslinya. hihihi..
ReplyDeleteAyuuuk nonton yuk bisa yuk! Keren banget mbak suer gak boong. Kalo suka drama sageuk wajib banget nonton drama ini. No menye menye club. Hehe..
Deletewaa romantis sekali, dalem nih, jadi ingin lihat juga film aslinya
ReplyDeleteFilm aslinya agak nyebelin, endingnya semua meninggal mbak. Romantis, dalem banget, padahal gak ada adegan kissing2nya. Tapi kisahnya ngena banget di sanubari dan memori :"
DeleteApreciate banget sama orang seperti mbak. Nonton drakor nggak hanya muasin keinginan aja tapi juga jadi inspirasi tulisan
ReplyDeleteAkhirnya, keisengan yang berfaedah hehe. Makasih mbak atas apresiasinya :)
Delete