Dulu, sebelum menikah aku bermimpi bisa selalu makan makanan sehat—walaupun tidak mahal—bersama keluarga. Bisa rutin berolahraga, minimal dua kali seminggu. Atau punya waktu istirahat yang cukup, karena selama kuliah seringnya jadi kalong—begadang sampai malam, tapi ngantukan saat siang.
Realitanya? Setelah menikah, apalagi punya anak, ternyata gaya hidupku 'sehat sekali' melebihi ekspektasi. Bahkan rasanya 'lebih sehat' daripada ketika aku kuliah dulu. Penasaran? Baca ceritaku sampai selesai ya!
DISCLAIMER! Judul artikel tidak mewakili isi! Tulisan ini tidak mengandung tips-tips atau kiat-kiat menerapkan gaya hidup sehat. Melainkan berisi segenap unek-unek dan keresahan penulis. Curhatan sekaligus sambatan random ini mungkin lebay dan banyak orang yang tidak sependapat. Tapi semoga bisa diambil pelajaran bagi siapa saja yang membaca. Aamiin. Selamat membaca!
1) Pola Makan Sehat
Hidup memang bukan untuk makan, yeorobun. Tapi percayalah bahwa makan adalah suatu faktor penting, bahkan utama, untuk bisa bertahan hidup. Agar bisa hidup sehat dan panjang umur, manusia harus punya pola makan yang sehat pula.
Normalnya, standar pola makan sehat yang diketahui (atau dipahami) kebanyakan orang seperti makan teratur, porsinya pas sesuai kebutuhan kalori harian, komposisi nutrisinya seimbang, alami atau tidak mengandung pengawet dan bahan aditif sejenis.
Aku dulu pernah bermimpi tiap hari makan karbo seimbang. Tidak harus nasi. Bisa roti gandum, oat, kentang, ubi, multigrain. Tiap hari makan sayur. Ngemilnya buah atau salad. Tidak sering jajan di luar, lebih sering konsumsi makanan rumahan yang sehat dan variatif.
Impian ini sempat terwujud sementara, ketika awal-awal menikah. Biasalah, pengantin baru lagi manis-manisnya berumah tangga. Ada aja kreativitas dan uji coba demi terlihat mempesona di depan pasangan tercinta. Haha.
Semakin kesini, semakin jauh dari impian. Apalagi setelah punya anak. Jadi ibu memang menuntutku untuk kreatif, bisa masak ini-itu untuk keluarga khususnya anak yang masih dalam masa tumbuh kembang. Tapi jadi ibu yang kreatif nyatanya memang harus menguras waktu dan tenaga. Apalagi anak lagi aktif-aktifnya. Sulit sekali menyempatkan waktu untuk menyiapkan menu empat sehat lima sempurna.
Alhamdulillah, beruntungnya keluarga kami masih lebih sering makan di rumah daripada jajan di luar. Tapi sejujurnya, masak setiap hari itu melelahkan, yeorobun. Alhasil, tiap hari bisa terhidang nasi, lauk dan sayur di meja makan menurutku sudah baik sekali. Kalau lagi capek-capeknya, yah ada kalanya kami pun g*food juga atau beli makan di luar.
Parahnya, aku ternyata cukup sering makan mie instan. Bahkan lebih sering daripada ketika kuliah dulu. Bagiku, mie instan kuah ekstra pedas telah menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dalam hidup. Ditambah es kopi tanpa ampas minim gula. Perpaduan keduanya telah menjadi my comfort dish yang secara kesehatan tidak betul-betul comfort.
Padahal dulu ketika kuliah sudah bercita-cita mengurangi kopi setelah punya pasangan dan momongan. Nyatanya cita-cita tak semulus realita.
Lalu, ada kalanya pula aku makan suka-suka. Tidak tiga kali sehari padahal perut bakat sekali terkena penyakit maag. Tidak jarang aku merasa lapar, tapi malas makan, sampai akhirnya tidak lapar lagi. Lupa kalau sedang lapar sampai hilang entah kemana rasa laparnya karena tidak segera makan. Semua karena malas atau tidak selera dengan masakan yang aku buat sendiri. Heran…
Intinya, kalau dipikir-pikir memang 'sehat sekali' pola makanku setelah menikah dan punya anak. Tidak teratur, kadang malas, sering makan mie instan dan kecanduan kopi. Sungguh, saking sehatnya sampai bikin geleng-geleng kepala dengan diri sendiri.
2) Istirahat Cukup dan Teratur
Menurut Kementerian Kesehatan—berbagai media kesehatan lainnya, idealnya orang dewasa membutuhkan waktu tidur 7-9 jam per hari untuk tetap menjaga tubuh (jiwa dan raga) tetap sehat dan bugar. Itu idealnya…
Realitanya?
Hidup memang tidak ada yang ideal. Ideal adalah kondisi yang hanya ada dalam rumus PV=nRT atau kehidupan konglomerat di sinetron Ind*siar.
Jangankan 9 jam, bisa tidur 6 jam sehari saja sudah bagus. Jujurly, aku memang overthinker sejati. Overthinking adalah expertise, bidang keahlian, yang aku kuasai sejak jadi anak kuliahan. Dan, rupanya keahlian ini semakin meningkat setelah berumah tangga.
Kebiasaan 'ngalong' semasa kuliah, ternyata terbawa sampai aku menikah. Tidur di bawah jam 10 malam adalah fenomena langka yang jarang sekali terjadi. Seringnya tidur di atas jam 11 malam atau malah dini hari menjelang pagi. Lalu bangun sebelum subuh berkumandang.
Ngapain aja? Overthinking. Banyak pikiran. Ada yang sama?
Sekedar memikirkan besok mau masak apa ya, bisa merembet ke pemikiran-pemikiran lainnya yang kebanyakan adalah misteri di masa depan. Begitulah, konon overthinker memang punya kemampuan antisipasi yang baik daripada non overthinker. Sayangnya pendapat ini belum terbukti kebenaran ilmiahnya.
Kalau sudah overthinking, fisik sudah lelah, badan sudah rebah, ndilalah mata tidak mau mengalah. Tetap melek, mecicil tidak mau terpejam.
Daripada melek dan berlarut-larut dalam pikiran yang penuh ketidakpastian, biasanya pelarianku selalu ke oppa-oppa drama Korea atau membuka layar monitor di 'ruang kerja' dan menulis blog tentang segala keresahan yang aku rasakan, seperti tulisan yang sedang kamu baca sekarang.
**Terima kasih Rowoon of SF9 dan Baekhyun of EXO yang selalu menemani hari-hariku pasca menikah dan punya anak, setiap hari, ketika memasuki waktu Indonesia bagian overthinking. Berkat kalian, alhamdulilah aku tidak berlarut-larut dalam kesepian saat insomnia menyerang.
3) Olahraga Rutin
Sudah bukan rahasia lagi, olahraga rutin mempunyai segudang manfaat untuk menjaga tubuh tetap fit, segar dan bugar, baik secara fisik maupun psikis.
Jauh di lubuk hatiku yang terdalam, aku iri kalau melihat orang-orang bisa rutin lari pagi, atau bersepeda tiap minggu, ngegym, renang atau yoga. Karena aku tidak bisa, yeorobun. Cita-cita itu ada, realisasinya yang nihil. Seringnya karena terbentur waktu. Tekad sih ya lebih tepatnya.
Sebagai ibu rumah tangga yang (berusaha menjadi) baik, aku sadar betul mengabdi dan membantu suami adalah tanggung jawabku.
Karena itulah saat suami bertanggung jawab menjadi kepala rumah tangga dan bekerja, dengan sukarela aku membantu untuk meng-handle semua tugas domestik yang ada. Memasak, mencuci piring, mencuci baju, setrika, beres-beres rumah dan lain sebagainya.
Banyaknya tugas domestik di pagi hari membuatku sulit meluangkan waktu untuk sekedar jogging di sekitar rumah. Mau ngegym ketika sore? Duitnya yang nggak sempat, karena anggarannya selalu mampir ke uang jajan anak (dan emaknya) haha.
Intinya, lama-lama keinginan untuk olahraga itu pupus. Waktu luang lebih banyak digunakan untuk rebahan sembari momong balita yang tingkahnya memang menguras tenaga. Alhasil, di usia yang belum menyentuh kepala tiga, aku sudah merasa jompo serta lebih akrab dengan koyo dan c*unterpain. Bye-bye tubuh yang fit dan segar bugar. Welcome to penjompoan dini…
4) Memelihara Kesehatan Psikis
Nah, ini yang tidak kalah penting. Banyak cara yang bisa diterapkan demi memelihara kesehatan psikis alias jiwa. Dari keempat pola hidup sehat yang aku ceritakan di tulisan ini, sepertinya hanya poin terakhir ini yang bisa dibilang paling memenuhi kriteria sehat.
Walaupun tidak dipungkiri, sensasi mau stres dan gila pasti ada dan sering menghampiri, tapi alhamdulillah aku masih bisa mempertahankan akalku di jalur yang sehat dan benar.
Bisa beribadah dengan tenang setiap hari tanpa hambatan yang berarti sudah membuatku bersyukur, Allah memberiku kesempatan untuk hidup sehat wal afiat. Jiwaku yang sehat. Entah raganya sudah lelah serasa mau reyot dan jompo ya.
Selain itu, kalau orang lain memilih jalan-jalan supaya tidak stres dan tertekan, aku—sebagai generasi rebahan milenial yang super mageran—lebih memilih tiduran di rumah sambil nonton bias-bias tercinta. Ekonomis sekali ya hiburannya? Gapapa, duitnya ditabung saja untuk jalan-jalan ke Korea bareng suami dan anak, suatu saat di masa depan.
Biarlah orang berkata aku mageran dan tidak berguna. Mereka hanya tidak tahu aku sedang dalam mode hemat daya, setelah tiap hari bergelut dengan hidup yang sama sekali tidak ikut mereka jalani dan rasakan.
**Lagi-lagi, terimakasih Rowoon of SF9 dan Baekhyun of EXO, kalian telah menjadi salah satu obat mujarab untuk menyembuhkan kegilaan dan tekanan psikis yang kurasakan sebagai emak-emak sambatan. Semoga kalian sehat selalu ya sayang-sayangku!
****
Kehidupan rumah tangga, menjadi istri dan ibu, membuatku belajar banyak hal. Idealisme dalam diriku sebetulnya tetap membara. Tapi ada kalanya aku perlu dan harus mengalah dengan keadaan.
Seperti menjalani pola hidup sehat misalnya, aku jadi jauh lebih fleksibel dan tidak lagi terpaku dengan impian-impianku dulu—yang sekarang rasanya jadi semakin semu haha.
Tak apalah, hidup memang tidak sempurna. Asalkan aku bisa mengabdi sebagai istri, mengasuh anak dan melaksanakan peranku sebagai ibu rumah tangga yang (sok) modern, aku rela. Toh, aku menikmati dan mensyukuri apa yang kujalani saat ini.
Jadi, kalau kamu saat ini sedang tertekan, sabarlah. Kuatlah. Kamu tidak sendirian. Hidup memang seperti ini, kadang mengajak bercanda ya. Tapi tetap harus dijalani. Ingatlah masih ada nasi padang yang enak dimakan dan oppa-oppa Korea yang belum ditemui. Atau apapun itu yang membuatmu bisa bertahan menghadapi semua proses dalam hidup yang fana ini. Ayo semangat!!
Tapi masih tetap langsiing, meski sering makan mie instan. Wis, tenan, ngakak abis pokoke baca artikel ini, hiburan bangets, haha.
ReplyDeleteSetelah menikah dan melahirkan para ibu memang penting menjaga kewarasan diantara banyaknya pekerjaan domestik dan juga urusan-urusan krucil yang tak pernah hentinya. Semangat para ibu, sehat selalu ya
ReplyDeleteMemang penting menerapkan gaya hidup sehat di masa kini, dan saya pun sudah menerapkannya juga. Tinggal menerapkan menikah dan melahirkannya aja yang belum
ReplyDeleteKayaknya kalau langsung menerapkan gaya hidup sehat aku nggak bakalan segendut ini deh setelah punya anak huhu.
ReplyDelete